Beritalingga.com, Jakarta – Tahun ajaran baru 2025/2026 membuka lembaran baru bagi keluarga Indonesia. Sebuah langkah menyentuh hati dihadirkan melalui kebijakan pemerintah yang tak sekadar administratif, tapi menyentuh sisi paling hangat dalam keluarga dan kasih sayang seorang ayah.
Lewat Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyerukan para ayah untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah.
Gerakan ini bukan sekadar rutinitas pagi hari, melainkan simbol kehadiran, perhatian, dan cinta yang selama ini sering terabaikan.
Tak dapat dimungkiri, data yang menjadi latar belakang GATI cukup menggugah, 1 dari 5 anak atau 20,9 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah.
Hanya 37,17 persen anak usia 0–5 tahun yang dibesarkan oleh kedua orang tua secara bersamaan.
Dalam heningnya pagi, di balik senyum anak-anak yang memulai hari, ternyata banyak yang menyimpan rindu akan sosok ayah yang terlalu lelah, terlalu sibuk bekerja, atau bahkan telah tiada akibat perceraian ataupun kematian.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sekaligus Kepala BKKBN, Wihaji, dengan penuh empati menyampaikan bahwa GATI adalah bentuk “emansipasi pria” dalam keluarga.
“Jika dahulu Kartini memperjuangkan hak perempuan untuk hadir dalam ruang publik, maka kini saatnya laki-laki mengambil peran penuh dalam ruang domestik. Menjadi ayah bukan hanya peran biologis, tapi juga emosional dan spiritual,” ungkapnya melalui siaran pers. Senin, (14/7/2025).
Di tengah dunia yang kian cepat dan penuh tekanan, banyak anak yang tumbuh dalam sunyi, meski berada dalam rumah yang ramai.
Fenomena fatherless atau ketiadaan ayah secara fisik maupun emosional telah dikaitkan dengan meningkatnya kasus gangguan mental, krisis identitas, hingga rasa percaya diri yang rendah.
“Melalui GATI, kami ingin menumbuhkan kesadaran bahwa pelukan ayah, ciuman di kening, atau tanya kecil ‘sudah sarapan?’ bisa jadi penopang utama bagi ketahanan jiwa anak-anak kita. Ini bukan hanya soal pengasuhan, tapi soal menyelamatkan masa depan,” ujar Wihaji.
Program GATI tak hanya mendorong ayah untuk mengantar anak ke sekolah. Gerakan ini mengajak para pria untuk menjadi pendengar yang baik, menjadi panutan yang membumi, dan membangun komunikasi hangat dengan anak-anaknya sejak usia dini hingga dewasa.
Di kota-kota dan desa-desa, mulai terlihat ayah-ayah muda yang dengan penuh cinta menuntun tangan kecil putra-putrinya, menyapa guru dengan senyum, dan melepas anak mereka masuk kelas dengan doa dalam hati.
Bagi banyak anak, ini mungkin kali pertama mereka merasa: “Ayahku ada di sini… untukku.”
GATI bukan hanya program. Ia adalah gerakan hati. Ia adalah pergeseran budaya, bahwa ayah tidak hanya pencari nafkah, tapi juga penjaga cinta.
Ayah tidak harus selalu kuat tapi harus hadir. Ayah tidak harus selalu tahu jawabannya tapi harus selalu mau mendengar.
Dalam satu langkah kecil menuju gerbang sekolah, ada cinta besar yang ditanamkan. Dalam genggaman tangan ayah, ada harapan yang diperjuangkan.
Dan dalam setiap “Selamat belajar, Nak,” yang terucap dari bibir seorang ayah, ada masa depan bangsa yang sedang dibangun dengan hati.
Penulis : Yudiar Kalman




















