Beritalingga.com, Jakarta – Di tengah prosesi kenegaraan yang khidmat di Parliament House, Singapura, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menerima sebuah kehormatan yang sarat makna: satu jenis anggrek hibrida dinamai khusus untuk menghormatinya. Lebih dari itu, Presiden Prabowo memilih untuk menamai anggrek tersebut dengan nama almarhumah ibundanya, Paraphalante Dora Sigar Soemitro.
“Saya merasa terhormat dengan upacara penamaan anggrek khusus ini. Saya rasa ini adalah bentuk penghormatan tertinggi,” ujar Prabowo dalam pidato sambutannya. Dengan senyum hangat, ia menambahkan, “Saya harap tidak ada hak cipta. Tapi jika Anda ditiru, berarti Anda telah melakukan sesuatu yang baik.”
Diplomasi yang Mekar Tanpa Tekanan
Anggrek bukan hanya tanaman hias. Dalam dunia diplomasi, ia adalah simbol kekuatan lunak—soft power—yang memikat lewat keindahan, bukan paksaan. Singapura sudah lama menjadikan bunga anggrek sebagai alat diplomasi budaya. Tradisi ini dikenal sebagai Orchid Diplomacy, yang sejak 1950-an telah menghormati tokoh-tokoh dunia seperti Nelson Mandela, Angela Merkel, Barack Obama, hingga Xi Jinping. Kini, Prabowo menjadi salah satu di antaranya.
Anggrek hibrida yang diberikan kepada Presiden RI ini memiliki kelopak merah muda lembut dengan guratan mawar dan bibir bunga emas bertotol merah marun—kombinasi anggun yang mencerminkan kehangatan dan ketegasan.
Menurut CEO Singapore National Parks, Hwang Yu-ning, anggrek ini dikenal produktif berbunga, simbol harapan akan hubungan bilateral yang terus bertumbuh.
Bunga Sebagai Bahasa Persahabatan
Diplomasi anggrek merupakan wujud nyata dari teori soft power yang dipopulerkan oleh ilmuwan hubungan internasional Harvard, Joseph Nye. Ia mendefinisikan kekuatan lunak sebagai kemampuan suatu negara untuk memengaruhi pihak lain lewat daya tarik budaya, nilai, dan keteladanan—tanpa paksaan atau dominasi.
Dengan menjadikan nama ibundanya sebagai nama anggrek, Prabowo tak sekadar membalas kehormatan, melainkan juga menyisipkan nilai emosional yang mendalam dalam hubungan antarbangsa. Sebuah gestur sederhana yang sarat makna.
Jejak Panjang Diplomasi Flora
Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang dalam diplomasi berbasis flora. Pada 1965, Presiden Sukarno mempersembahkan bunga anggrek hibrida Dendrobium kepada pemimpin Korea Utara Kim Il Sung. Bunga itu kemudian dinamai Kimilsungia, dan hingga kini dipajang setiap tahun di Pyongyang sebagai simbol persahabatan.
Kini, lewat kepemimpinan Prabowo, Indonesia tampaknya bersiap menghidupkan kembali tradisi ini. Dengan lebih dari 5.000 spesies anggrek—salah satu yang terkaya di dunia—Indonesia memiliki potensi besar menjadikan anggrek sebagai instrumen diplomasi budaya, sebagaimana Tiongkok dengan panda dan Jalur Sutranya.
Diplomasi yang Berakar pada Budaya
Dalam acara tersebut, Presiden Prabowo juga menerima buku “Singapore’s Orchid Diplomacy”, sebagai bagian dari pertukaran budaya yang elegan dan simbolis. Pertemuan antar pemimpin pun berubah menjadi perjumpaan antarwarisan budaya.
Hubungan antarnegara di era modern tidak hanya dibangun lewat forum ekonomi atau meja runding. Ia juga tumbuh dari taman-taman, galeri seni, dan bahkan sekuntum bunga.
Dalam diplomasi yang halus namun kuat ini, Indonesia menunjukkan wajahnya: bangsa besar yang tidak hanya kuat secara geopolitik, tetapi juga kaya akan kelembutan budaya dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan dari satu kuntum anggrek yang mekar, sebuah pesan disampaikan: bahwa persahabatan sejati bisa tumbuh—tanpa paksaan, tanpa tekanan—hanya dari sehelai kelopak bunga.




















